Berkat Makan Daging Ayam Tanpa Antibiotik, Alergi Tak Lagi Kambuh

Tidak banyak peternakan ayam herbal probiotik di seputaran jabodetabek. Pada tahun 2018, peternakan green poultry di Tangerang Selatan dikunjungi oleh tim liputan6com untuk membuat liputan investigasi tentang produknya yang selengkapnya dapat dibaca di  https://www.liputan6.com/health/read/3498458/berkat-makan-daging-ayam-tanpa-antibiotik-alergi-tak-lagi-kambuh

Peternakan ayam herbal probiotik green poultry merupakan sebagian kecil peternakan yang memasarkan ayamnya door to door langsung ke konsumen, agar harga dapat ditekan yang semula di supermarket berkisar di Rp. 75.000 s/d Rp. 95.000 menjadi jauh lebih murah. Profil lengkap peternakan green poultry  dapat dilihat di bit.ly/greenpoultry

Makan daging “Ayam Herbal Green-Poultry”, alergi tidak kambuh lagi. (Liputan6.com/Fitri Haryanti Harsono)

 Liputan6.com, Jakarta Artikel ini hasil liputan investigasi penulis dengan topik “Efektivitas Makanan Pengganti Antibiotik pada Unggas.” Liputan yang dilakukan selama Maret 2018 sebagai bagian penilaian “Fellowship for Journalist Protecting Lives and Livelihoods.” Beasiswa diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan FAO (Organisasi Pangan Dunia).

 “Ada lho pelanggan kami yang makan (daging) ayam herbal jadi tidak (pernah) alergi lagi. Setelah makan ayam biasa (ayam dengan antibiotic growth promotor/AGP) biasanya langsung muncul efek alerginya. Ya, yang dirasakan dia itu sesak napas dan gatal-gatal di seluruh badan.”

Sepenggal testimoni dari pelanggan itu diceritakan Ina Rohadi saat Liputan6.com bertandang ke rumahnya pada Minggu, 25 Maret 2018 di bilangan Serpong, Tangerang Selatan. Ekspresi wajah Ina, pemilik peternakan “Ayam Herbal Green-Poultry” (dahulu “Ayam Herbal Probiotik Green-Poultry”) terlihat antusias saat menceritakan salah satu testimoni pelanggannya. Pelanggan—yang tak disebutkan namanya—mencoba makan ayam probiotik herbal, yang dihasilkan dari peternakan Ina.

Efek mengejutkan terjadi. Setelah pelanggan, yang rupanya masih duduk di bangku SMP itu makan ayam probiotik herbal, alerginya tidak muncul dan kambuh. Ketika mendengar kondisi pelanggan tersebut, Ina dan staf lainnya senang karena ayam probiotik herbal yang diternakkannya ternyata membuat pelanggan atau konsumennya terjaga kesehatannya.

“Sejak tidak kambuh lagi alerginya, kami sarankan saja makan ayam probiotik herbal terus. Kasihan juga sih, daripada tidak makan ayam sama sekali. Dari sisi medisnya, kami tidak tahu juga, kenapa alergi dia tidak muncul setelah makan ayam (probiotik ayam), tapi alhamdulillah, dia cocok makan ayam probiotik herbalnya,” kata Ina.

“Ayam Herbal Green-Poultry” yang dikelola Ina mengutamakan probiotik herbal. Probiotik berupa pakan ayam yang tidak terkandung antibiotik (AGP) di dalamnya. Pakan ayam probiotik herbal tidak dibuat Ina dan staf sendiri, melainkan pakan industri yang diproduksi PT Charoen Pokphand Indonesia.

Reaksi alergi setelah mengonsumsi daging juga tertulis dalam jurnal Clinical presentation and diagnosis of meat allergy in Switzerland and southern Germany, yang dimuat di Swiss MED WKLY (2009). Gejala alergi akibat mengonsumsi daging ayam berupa gatal-gatal di mulut dan badan. Gejala reaksi hanya muncul setelah peserta makan daging ayam saja, bukan dari telur ayamnya.

Pelanggan Ina, yang tinggal di kompleks Bumi Serpong Damai (BSD), Serpong, Tangerang Selatan juga mengalami efek alergi lain, yakni permukaan kulit menjadi basah, lalu terjadi eksim. Eksim berupa peradangan pada kulit berwarna kemerahan dan berbentuk gelembung cairan.

“Eksimnya pada kaki. Merah-merah dan gatal rasanya. Setelah makan ayam probiotik herbal, eksim tidak dialami lagi. Dia makan ayam probiotik herbal dan jadi pelanggan kami itu dari tahun 2010,” kata Andi Sigit Robitah, yang menangani bagian pemasaran “Ayam Herbal Green-Poultry.”

 Dalam kasus alergi makan daging ayam, seperti yang dialami salah satu pelanggan “Ayam Herbal Green-Poultry” efek alergi tidak hanya dipengaruhi penggunaan antibiotik atau AGP saja. Berdasarkan referensi dari Allergen Data Collection, prevalensi alergi terhadap daging ayam berkisar antara 5 persen hingga 6 persen. Alergi daging ayam termasuk fenomena langka yang diteliti dalam studi tersebut.

Efek alergi yang terjadi juga dipengaruhi protein hewani yang terkandung pada daging, baik dari daging sapi, domba, dan ayam. Protein yang terdapat pada ayam di antaranya serum albumin, bovine serum albumin, dan bovine immunoglobulin. Seluruh protein menjadi alergen, yang merangsang terjadinya alergi.

Tubuh seseorang yang sudah terdeteksi alergi dapat mengalami reaksi alergi. Pelanggan Ina ternyata diketahui alergi sejak bayi. Ketika diberi makanan yang ada daging ayam, tubuhnya langsung menunjukkan reaksi alergi. Dalam hal ini, pasien kemungkinan mengalami alergi protein hewani.

Zakiudin Munasir dari Divisi Alergi Imunologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menjelaskan alergi makan daging ayam.

“Alergi makan daging ayam bukan karena daging ayam pakai antibiotik hormon pertumbuhan. Ya, bisa jadi, orang itu memang punya riwayat alergi protein hewani,” jelas Zaki, panggilan akrabnya melalui pesan WhatsApp.

Reaksi alergi protein juga berupa gangguan saluran pencernaan (mual, muntah) dan pernapasan (sesak napas, sulit bernapas). Alergi protein hewani juga dialami Syifa Nurhakiki (22), yang tinggal di Bogor, Jawa Barat. Pengaruh lingkungan tempat kerja membuat Syifa ikut makan daging ayam.

“Kejadiannya dua bulan lalu. Saya memang alergi protein hewani sejak lahir. Sudah terdeteksi dari bayi. Nah, kejadian makan daging ayam itu sebenarnya coba-coba juga. Waktu itu, saya sempat kerja di Jakarta. Di sekitar tempat kerja saya sulit cari makanan (pilihan makanan lain terbatas), kebanyakan daging ayam. Saya ikutan makan daging ayam. Akhirnya, saya gatal-gatal,” kata Syifa saat diwawancara melalui sambungan telepon.

Pada awalnya, reaksi alergi gatal-gatal belum terasa. Setelah makan daging ayam beberapa kali, gatal-gatal di seluruh tubuh muncul. Untuk menghilangkan rasa gatal, ia hanya meminum antihistamin—obat alergi. Sayangnya, antihistamin yang biasa diminum untuk mengusir gatal tidak ampuh.

Bintik-bintik merah mulai muncul memenuhi tubuh Syifa. Ia mengira bintik-bintik merah termasuk salah satu reaksi alergi. Beberapa kali minum antistamin, bintik-bintik merah tak jua menghilang. Ia pun memeriksakan diri ke dokter. Hasil pemeriksaan mengejutkan, bitnik-bintik merah ternyata pembulu darah arteri yang pecah.

“Saya kira juga bintik-bintik merah, gejala alergi. Pembuluh darah arteri saya yang pecah. Saya baru periksa ke dokter setelah sebulan (bintik-bintik) tidak hilang. Bintik-bintik merah muncul dua pekan kemudian sehabis gatal-gatal. Ke dokter dikasih obat dan hilang,” Syifa berbicara dengan nada sendu.

Akibat kejadian tersebut, Syifa membuat dirinya tak lagi nekat makan daging ayam. Apalagi reaksi alergi menyebabkan pembuluh darah arteri pecah. Tak hanya pantangan makan daging ayam saja, Syifa juga menghindari makan daging merah, seperti sapi.

“Sebenarnya kondisi saya malah jadi kekurangan protein hewani. Tidak boleh makan daging merah juga. Dari lahir juga ibu tidak memberikan protein hewani. Saya pikir, saat usia dewasa ini bisa makan daging, walau sedikit, tenyata tidak bisa juga ya,” keluh Syifa.

Syifa menambahkan, alergi protein hewani yang dialaminya kemungkinan dipengaruhi dirinya yang lahir prematur. Metabolisme tubuhnya belum terbentuk sempurna sehingga rentan didera penyakit. Saat pembuluh darah arteri pecah, dokter sempat memberitahukan penyebabnya. Dokter mengatakan, kemungkinan pengaruh zat kimia yang terkandung pertumbuhan ayam.

“Tidak disampaikan secara detail (rinci), apakah itu terkait dengan penggunaan antibiotik pada ayam, tapi yang pasti, zat kimia itu tidak bisa diterima tubuh saya,” Syifa mengungkapkan.

Demi cegah alergi sekaligus ingin tetap bisa makan ayam, Syifa memelihara ayam organik sendiri di rumah.(iStock)

Demi ketercukupan protein, sebagai gantinya, Syifa mengonsumsi protein nabati berupa kacang-kacangan. Namun, ia masih berupaya memenuhi kebutuhan protein hewani dengan memelihara ayam sendiri.

“Lagi coba pelihara ayam sendiri. Ayam organik kampung, tidak pakai penggunaan antibiotik. Baru beberapa minggu juga pelihara, belum dipotong dan dimakan. Sebenarnya saya belum tanya dokter juga, apakah boleh makan ayam (organik) yang dipelihara sendiri. Belum tahu juga, apakah muncul reaksi alergi atau tidak,” tambah Syifa.

Serupa dengan Syifa, ada juga kasus reaksi alergi makan daging yang terjadi pada seorang pria berusia 41 tahun. Dalam jurnal berjudul Severe Allergy to Chicken Meat, yang diterbitkan Wisconsin Medical Journal (2006), pria itu didera kram perut, pruritus (rasa gatal di seluruh tubuh disertai ruam), dan urtikaria (biduran). Ia juga mual.

Kondisi ini terjadi berulang kali setelah 30 menit makan daging ayam. Reaksi tersebut semakin sering dan berat. Bahkan ia merasa tidak nyaman. Padahal, daging ayam menjadi salah satu pilihan makanan yang dikonsumsinya. Ini dikarenakan daging ayam dianggap pilihan makanan diet rendah kolesterol. Penyebab reaksi alergi dalam kasus ini dipengaruhi protein hewani.

Meskipun protein pada daging ayam diyakini menjadi alergen, ada juga pengaruh komponen atau kontaminan pakan ayam yang menempel pada daging. Kontaminan itu merangsang timbulnya reaksi alergi. Dalam studi kasus, keberkaitan alergi dengan penggunaan antibiotik tidak ditemukan kasus reaksi alerginya. Subjek dalam laporan ini membantah adanya reaksi alergi akibat pengaruh antibiotik.

Namun, demi mendapatkan penyebab utama alergi, tambah Zaki, perlu ada pemeriksaan lebih rinci soal alerginya. Butuh pemeriksaan laboratorium soal alerginya.

“Dites (alergi) dulu harus, soalnya permasalahan alergi,” Zaki menambahkan.